Izinkan Aku Menciummu Ibu ~ Beberapa waktu yang lalu Blog Library STIPAP pernah share sebuah artikel tentang IBU yang mengisahkan cinta abadi seorang ibu terhadap anaknya. Nah, pada
kesempatan kali ini saya akan share sebuah cerita cinta seorang ibu juga
tetapi dengan cerita yang berbeda. Semoga setelah menyimak cerita ini
kalian bisa mengambil banyak pelajaran penting, sehingga kalian menjadi
lebih tahu betapa pentingnya peran seorang ibu terhadap hidup kalian nanti.
Sewaktu masih kecil, aku sering
merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan
tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore.
Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum
ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak
mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis
makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan
makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang
diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu
bersungut-sungut.
Kini, setelah dewasa aku
mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan
menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan
pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu,
karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang
dibanggakan oleh anak-anakku.
Saat pertama kali aku masuk
sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam
kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela
kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk
pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik,
atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku
senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku besar, aku
malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian.
Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan
pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa,
aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja,
aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang
kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan
seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya
agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang,
sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak
pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk
membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia
pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya.
Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan
kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku
terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku
menangis.
Selepas SMA, ketika aku mulai
memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh
berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali
menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti
apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku
dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan
keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda sarjana, baru aku
mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti
apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar
sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap
sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih.
Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku, ia
menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati,
memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya
begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai
akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat
itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan
hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.
Kini setelah aku sibuk dengan
urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai
kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada
suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh,
kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman
uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu.
Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu
kepadaku.
Best regards,Fadhil Fraya, AMd
Librarian
STIPAP Medan
fadhil_fraya@yahoo.co.id
http://www.stipap.ac.id/
Librarian
STIPAP Medan
fadhil_fraya@yahoo.co.id
http://www.stipap.ac.id/
0 komentar:
Posting Komentar