Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta pemerintah menghapus program revitalisasi perkebunan (Revbun). Pasalnya, sepanjang tahun 2007 hingga 2010 dana yang disiapkan pemerintah hanya sedikit yang diserap petani sawit.
Sekretaris Jenderal Apkasindo, Asmar Arsjad mengatakan, selama ini revbun tidak membawa keuntungan kepada petani karena persyaratan yang sangat sulit dipenuhi petani, seperti tersedianya surat kepemilikan lahan sebagai agunan dari pihak perbankan dalam mengucurkan dana pinjaman revbun tersebut.
"Selama persyaratan itu tidak dirubah oleh pemerintah, revbun kita yakini tidak akan berjalan. Kita akui petani banyak belum memiliki sertifikasi lahan apalagi yang memiliki perkebunan di bawah satu hektar," ujarnya kepada wartawan, Kamis (20/1) di Medan.
Dijelaskan Asmar, skema persyaratan biaya pinjaman tersebut sangat memberatkan petani. Karena petani yang tidak memiliki sertifikasi lahan, harus membayar biaya sekitar 5% untuk bapak angkat. Belum lagi birokrasi di lapangan berbeda antara perbankan yang satu dengan yang lainnya dalam memberikan pinjaman.
"Banyak petani memiliki lokasi perkebunannya tidak berada pada satu lokasi, sehingga ini sangat menyulitkan petani dalam mengurus surat kepemilikan lahannya," kata Asmar.
Memang, lanjutnya, agunan diperlukan bagi perbankan dalam memberi bantuan kredit kepada petani. Namun, karena keterbatasan petani yang tidak memiliki sertifikasi lahan, seharusnya pemerintah propinsi dan daerah berkenan menjadi penjamin kepada pihak perbankan sehingga petani bisa mendapatkan dana bantuan tersebut.
"Tapi tidak ada yang bersedia memberi jaminannya kepada petani dengan alasan beresiko tinggi. Kalau begini terus kita minta program revbun tidak usah dilanjutkan karena sia-sia subsidi yang diberikan pemerintah pada dana bantuan itu," tegasnya.
Asmar menambahkan, pihaknya sejak 2 tahun lalu telah meminta kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) pusat untuk memberikan keringan kepada petani agar dapat mengikuti revbun, namun hingga saat ini tidak ada menerima jawaban. Ini artinya, pemerintah tidak serius ingin membantu petani dalam meningkatkan pendapatannya.
Asmar meminta pemerintah mengalihkan dana tersebut pada peremajaan tanaman kepala sawit yang selama ini tidak ada dananya. Dari total perkebunan kelapa sawit rakyat 3,8 juta, sekitar 1 juta hektar perkebunan tersebut sudah harus diremajakan.
Sementara berdasarkan data Bank Indonesia (BI) Sumut dan NAD, realisasi revbun untuk komoditi sawit hanya 1.814 hektar dari target yang ditetapkan 30.262 hektar dengan nominal realisasi kredit sebesar Rp 8,3 miliar. Begitu juga dengan karet. Hingga September 2010, realisasinya hanya 13,34 hektar dari total target luas lahan 17.371, 21 hektar. Nominal kredit yang telah disalurkan Rp661 juta.
Dan, untuk kakao telah terealisasi 20,42 hektar atau kredit sebesar Rp957,8 juta dari target lahannya 20.126,45 hektar.
Kepala Dinas Perkebunan Sumut, Aspan Sopian mengakui, realisasi revbun memang masih sedikit. Dari tahun 2007 hingga saat ini, yang disetujui baru sekitar 17.700 hektar lahan sawit dengan kemitraan dan 13.000 hektar yang non mitra. Sedangkan untuk tanaman karet, belum disetujui pihak perbankan meski sudah ada daerah yang mengajukan permintaan yakni Kabupaten Padang Lawas Utara.
"Persetujuan pemberian kredit revbun ini tergantung pihak perbankan sebagai pemilik uang. Tapi sering terjadi perbedaan persyaratan yang ditentukannya sehingga menyulitkan petani dalam menyediakan agunan," ujarnya. (24/01/2011/fdl